Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat
Kujang
adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat
sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor,
panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang
merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga
melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran.
Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang,
hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng
karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar
pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kujang dikenal sebagai senjata
tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral
serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan
bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang.
Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa.
Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda
Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai
jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau
menghindari bahaya/penyakit[rujukan?]. Senjata ini juga disimpan sebagai
pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan
meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah
atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406).
Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam
beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan
kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa
Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian
disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai
pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal
dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga
saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan
masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan
niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai
sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta
pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama
dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda
Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai
peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di
beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang
memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih
dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan
Pancer Pangawinan di Sukabumi.
"Segala macam hasil tempaan, ada
tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet
(pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan
dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah:
kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan
dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan
diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso
dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena
digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis
senjata yang berbeda pada sang
prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu
semuanya, tanyalah pandai besi." — Sanghyang siksakanda ng karesian
pupuh XVII.
Dengan perkembangan kemajuan,
teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun
mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari
sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang
memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai
simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal
saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Karakteristik sebuah kujang
memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo
(ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian
punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata
(lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk
karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya
bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (tatar Sunda). bentuk senjata ini cukup unik, dari segi desainnya tak ada yang menyamai senjata ini di daerah manapun, senjata ini di Jawa Barat. Tidak adanya kata yang tepat untuk menyebutkan nama senjata ini ke dalam bahasa International, sehingga Kujang dianggap sama pengertiannya dengan “sickle” (= arit / sabit), tentu ini sangat menyimpang jauh karena dari segi wujudnya pun berbeda dengan arit atau sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di Indonesia sendiri arit atau sabit sebetulnya disebut “chelurit” (celurit). Mungkin untuk merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan kewajiban budayawan sunda, dan media cetak lokal di tatarsunda yang harus lebih intensif mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia International.
Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang memilii pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan benda pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406) Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
BAGIAN BAGIAN KUJANG
- Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
- Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
- Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
- Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
- Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
- Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
- Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
- Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
- Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
- Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
- Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
- Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
- Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki
lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini
disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang
juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala
Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba,
Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala
tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda
dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat
ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala
itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang
belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan
rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan
(sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun
itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang
terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor
sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini
sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor
marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh
kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang
Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan
buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya
hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor
sebelah Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu
terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial
Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya
sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan
konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat
gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua
kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang
badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana”
dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga
diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung
sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang
sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini
pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi
masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran
bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan
cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru
kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir
antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak
dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda
obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan
kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping
yang tersimpan di museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk
kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi
kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan),
sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten
masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata
hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan”
(tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten,
Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang
Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan
budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada
upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan
pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun
Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala
subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas)
masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
- Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
- Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
- Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
- Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
- Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
- Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
- Kudi; perkakas sejenis kujang.
- Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
- Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
- Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
- Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran
pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat
itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini
hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom
(putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama,
para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat
biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok,
congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan
kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para
kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk.
Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk
kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian
pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya
barisan pratulup, dan seterusnya.
- Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
- Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
- Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
- Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
- Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero).
- Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
- Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
- Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh
kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung,
yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang
Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang
bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita
bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang
Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang
Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan
pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya
khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana,
Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa
saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi
fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai
pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para
wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki
fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para
Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para
Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya
hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena
bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan
ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama
dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor,
dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak
Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari
besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang
bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi
baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan
kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang
disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada
bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada
kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang
pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk
tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang
memamai mata.
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses
pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata
kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya,
ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan
“Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya
‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya
kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika
Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke
Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda
tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih
berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang
mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa).
Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang
bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang
bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan
artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana
keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu
menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
- Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
- Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
- Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
- Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
- Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
- Tuah “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik
kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali,
Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas
kujang disebut Paneupaan.